Kembali ke Pelukan Biru: Catatan Menyelam di Tanjung Jepun, Padangbai

Sebuah pesan singkat di WhatsApp pagi itu memecah hening, nyaris terlewat karena kesibukan pagi ini menginstall ulang window pc dari semalam
Mas ikut diving? Aku mau turun 1x jam 9 nanti.”

Pesan dari dr. Lato itu sudah masuk hampir tiga puluh menit yang lalu. Panik sesaat—jangan-jangan saya sudah ditinggal. Telepon saya tak diangkat. Namun, tak lama kemudian, sebuah pesan balasan datang. Dr Lato belum berangkat. Napas lega saya hembuskan. Hari itu, akhirnya, saya akan kembali merasakan pelukan laut di Bali. Momen yang telah saya rindukan sejak penyelaman terakhir di Raja Ampat, sesaat sebelum sebelum dunia mengenal pandemi.

Loading…

Perjalanan Pagi dan Ritual yang Hampir Terlupa

Perjalanan dari Jimbaran menuju Padangbai adalah sebuah petualangan tersendiri. Jarak 60 kilometer kami tempuh dengan motor matic, berboncengan di bawah langit Bali yang sempat mendung dan hujan, membuat kami berhenti sejenak untuk mengenakan jas hujan. Di bagian depan motor, tas kerja berhimpitan dengan tas kecil berisi regulator yang akan diuji coba. Sementara saya membonceng di belakang, memanggul ransel berisi perlengkapan lainnya dan menenteng BCD Zeagle Ranger yang baru beberapa bulan lalu saya adopsi dari marketplace. Pagi ini misinya jelas: refresh dive sambil mengetes peralatan baru tapi lama.

Tiba di dive center Waterworx, kami disambut kabar bahwa kapal pagi sudah melaut. Tak masalah. Ini justru memberi kami jeda untuk sarapan—sesuatu yang kami lewatkan karena terburu-buru berangkat.

Jujur saja, setelah lebih dari empat tahun vakum dari dunia selam, rasanya seperti “sedikit ingat, banyak lupa.” Memasang masker tentu masih di luar kepala. Tapi saat memasang regulator ke tabung, saya perlu jeda sejenak, memanggil kembali memori otot yang tersimpan. Untungnya, memasang BCD Zeagle Ranger terasa familiar, tipenya mengingatkan saya pada Aqualung Roque yang setia menemani di Komodo dan Raja Ampat.

Satu pertanyaan klasik muncul: “Saya butuh berapa weight ya?” Ragu-ragu, saya mengambil tiga keping. Sepatu bot dan fin terpaksa meminjam, karena seluruh harta karun selam saya masih tertitip di Komodo. Sembari menunggu rombongan lain menyelesaikan surface interval, saya duduk dan mencoba berefleksi. Mengingat kembali mantra-mantra dasar: jangan pernah tahan napas, atur pernapasan agar efisien, gerakan kaki seperti balerina, bukan pesepeda. Saya membayangkan skenario sempurna: duduk di sisi jukung, memasang masker, fin, lalu back roll… byurrr! Sebuah rutinitas yang dulu adalah napas harian saya.

Memasuki Dunia Hening di Tanjung Jepun

Pukul sebelas lewat, saatnya berangkat. Kami melangkah menyeberang jalan dari dive center, langsung menuju pantai tempat jukung putih kami menunggu. Peralatan selam sudah tertata rapi di dalam perahu, berbaris dua-dua di sepanjang bangku kayu. Jukung ramping ini siap mengantar sembilan jiwa: seorang kapten, Pedas (dive guide kami), 3 orang anggota keluarga dari Jerman, Mano (instruktur Waterworx) bersama muridnya, serta saya dan dr. Lato.

Tujuan kami hari ini adalah Tanjung Jepun. Lokasinya tak jauh, hanya satu belokan tanjung dari dermaga utama Padangbai. Langit biru cerah dan laut biru tua berpadu sempurna, menyambut jukung kami yang membelah perairan teluk. Melewati tanjung, kami melihat beberapa pemancing lokal di tebing-tebing karang. Di kejauhan, dive spot populer Blue Lagoon sudah diramaikan oleh beberapa jukung lain. Kami terus melaju sedikit ke arah timur laut.

Sebuah bangunan silinder besar yang mengapung menjadi penanda kami telah tiba. Itu adalah platform untuk Odyssey, sebuah wahana kapal selam wisata. Jukung kami mematikan mesin. Satu per satu, kami memulai ritual terakhir: memasang BCD, mengencangkan masker, melakukan buddy check pada regulator, dan terakhir, memasang fin.

Sayangnya saya tidak membawa kamera dan action cam kali ini karena terburu buru. next time ya.

Setelah semua siap, saya mengambil posisi. Byurrr!

Perasaan yang lama hilang itu kembali seketika. Tubuh yang kehilangan gravitasi, melayang dalam keheningan biru. Satu-satunya suara adalah melodi napas saya sendiri—tarikan dalam dari regulator dan hembusan gelembung udara yang berlarian riang menuju permukaan. Inilah momen yang saya cari: bebas dari segala pikiran masa lalu dan kecemasan akan masa depan. Yang ada hanyalah “saat ini” dan apa yang tersaji di bingkai masker saya.

Pesona Bawah Laut Tanjung Jepun

Rombongan kami terbagi dua. Saya dan dr. Lato bergabung dengan grup yang dipandu Pedas, sementara Mano dan muridnya fokus pada sesi latihan mereka.

Topografi & Kondisi: Visibilitas hari itu luar biasa jernih. Dasarnya berupa pasir putih yang landai, perlahan menurun ke kedalaman. Arus hampir tak terasa, memberikan kondisi ideal untuk penyelaman santai.

Keunikan: Daya tarik utama Tanjung Jepun adalah sebuah bangkai kapal kecil (small wreck) yang terbaring anggun di kedalaman sekitar 18 meter. Tak jauh dari sana, terdapat “taman patung” buatan yang kini telah menjadi rumah bagi berbagai biota laut.

Kehidupan Laut: Terumbu karang didominasi oleh hard coral. Saya disambut oleh keluarga ikan badut (Nemo) yang malu-malu mengintip dari anemonnya, beberapa parrotfish yang sibuk mengunyah karang, seekor lionfish yang gagah, beberapa nudibranch berwarna-warni, dan yang paling istimewa, tiga ekor penyu yang melintas dengan agungnya.

Menjelang akhir penyelaman, arus mulai sedikit terasa. Pedas dengan sigap memberi isyarat tangan untuk berbalik, mengajak kami berlindung di balik kontur bukit bawah air agar tak perlu melawan arus.

Empat puluh lima menit berlalu dalam ketenangan absolut. Tiba-tiba, sebuah sosis penanda (surface marker buoy) berwarna hijau muda melesat dari tangan dr. Lato, mencuat ke permukaan. Inilah sinyal bagi kapten jukung untuk bersiap menjemput dan penanda bagi kapal lain agar berhati-hati. Saatnya kami melakukan safety stop di kedalaman lima meter selama tiga menit—prosedur wajib untuk melepaskan nitrogen berlebih dari tubuh.

Refleksi di Permukaan

Satu per satu, kepala kami muncul kembali ke dunia atas. Langit biru kembali menyapa. Diving, bagi saya, lebih dari sekadar olahraga. Ini adalah sebuah pengalaman spiritual, cara paling efektif untuk terkoneksi dengan saat ini (present moment) dan melupakan sejenak segala kerumitan hidup.

Dan tentu saja, karena saya sedang dalam misi membangun sebuah website informasi seputar spot selam di Bali (balidivespot.com), satu pertanyaan klasik langsung muncul di benak:

“Setelah ini, kita menyelam ke mana lagi ya?”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top