Sempat agak kecewa sebenarnya ketika kabut menutupi pandangan dari pos 3 Merbabu. Apalagi hawa dingin dan tiupan angin kencang benar-benar menyurutkan semangat untuk begandang menunggu sang bima sakti.
Tidur sekedarnya di dalam tenda untuk 2 orang tapi digunakan bertiga, plus dengan penghuninya kalau tidak melebar ke samping atau melebar ke atas. Ditambah lagi posisi kami mendirikan tenda, yang sore tadi nampaknya terlihat datar, ternyata agak miring ke bawah. Ketika kami mencoba merebahkan tubuh menyesuaikan panjang tenda, ternyata karena miring, jadinya malah posisinya menumpuk di pinggiran tenda yang miring ke bawah. Alternatif lainnya adalah tidur mengikuti lebar tenda, memang lebih leluasa, tapi dengan kompensasinya kaki harus menekuk. Mencoba beberapa lama dalam posisi ini dengan sukses membuat otot di kaki jadi menegang. Akhirnya kami cukup puas dengan tidur seadanya, agak miring ke bawah. Itupun tak berapa lama kemudian kami mulai terbuai dalam mimpi masing-masing, tentunya dengan ditemani bunyi nyanyian gergaji malam. grookkk…piuffff…grooookkkk
sekitar pukul 1 pagi, sempat terbangun dan memberi kode kepada marsono yang tidur di dekat pintu tenda. “Mar, langit terang ndak ?” tanyaku dalam balik sleeping bag, agak ogah-ogahan. “Terang bek.. lampu kota keliatan, tapi ndak keliatan bintang di langit” balas Marsono yang beranjak keluar tenda. Itu sudah cukup untuk menarik saya keluar dari kehangatan sleeping bag, dan menyeret keluar tripod dan kamera yang terbungkus dry bag.
Terima kasih untuk keindahan malam mu Merbabu.